Aku hanya mampu melukiskan kata-kata yang bermakna ambigu.
Tentang makna kehidupan, tentang warna abu-abu dunia, dan tentang gemerlapnya mimpi yang tertanam dimalam-malamku.
Yah, aku hanya seorang pelukis kata yang takkan pernah berarti dan kadang dilupakan.
Tak apa, aku bisa terima itu.
Karna, duniaku hanya bisa aku nikmati ketika mimpi terpampang dan terpeta dalam otak.
Atau mungkin, mereka tak bisa melihat gemerlapnya dunia yang selama ini aku ceritakan dalam kata-kata.
Semua pengonsepan kalimat dan deretan kata-kata yang menjadi teman dalam duniaku.
Tak terlihat oleh mata mereka.
Mungkin, hanya terlihat dunia yang abu-abu dan hitam-putih saja.
Sebuah dunia yang gelap tanpa sebuah lampu penerangan.
Atau mungkin, hanya ruang kosong kedap udara yang menyesekkan paru-paru renta.
Ah, sudahlah.
Sedikit saja aku lukiskan duniaku.
Dunia yang membuatmu mual lalu muntah.
Daftar Blog Saya
Senin, 09 Mei 2011
Berkaca dan Mulai Membaca
Aku kembali berkaca,
Hem, hanya aku yang terlihat lelah disana.
Dengan kantung hitam dibawah mata.
Dengan rambut acak-acakan.
Dengan dunia kecil yang tak berarti.
Aku kembali berkaca,
Melihat diriku diseberang sana.
Dengan muka masam.
Dengan raut wajah cemberut.
Dengan imajinasi yang kini membusuk.
Cih, apa yang bisa kulakukan sekarang?
Menangis?
Tertawa?
Berlari?
Duduk dan menunggu?
Hei, aku lelah.
Aku kembali berkaca,
Memperhatikan setiap detail garis yang ada diraut masam wajahku.
Lalu, apalagi sekarang?
Membusuk bersama imajinasi fantasi?
Atau memakan mimpi yang kini kadaluarsa, lalu mati dengan mulut berbusa keracunan?
Haruskah?
Hah?
Aku kembali berkaca,
Menerawang jauh manic hitam mataku disana.
Aku tau aku lelah,
Aku tau aku mulai menyerah,
Aku tau aku kini merasa telah kalah.
Sudahlah, jangan bicarakan masalah ini.
Aku kembali berkaca, memperhatikan lagi dengan seksama.
Raut wajahku, manik hitam mataku, garis-garis lembut dikeningku.
Semuanya kuperhatikan lagi.
Hei, ada yang hilang disana.
Satu keeping kecil, yang terlempar.
Sesuatu hal yang membuatku merasa kehilangan.
Tapi aku tak tau apa itu.
Bagian mana yang menghilang?
Aku tak tau…
Aku kembali berkaca,
Sekali lagi menelusuri garis-garis halus dikening.
Kembali berkaca, kembali membaca.
Membaca, bagian mana yang bisa kusebut dengan kenyataan?
Bagian mana yang bisa disimpan dalam cerita yang terekam?
Bagian mana yang memberiku kebebasan?
Bagian mana yang membuatku merasa hidup?
Bagian mana yang menghilang dan harus kucari.
Hem, kembali berkaca dan belajar membaca.
Membaca apa yang ada dalam diriku.
Membaca apa yang Tuhan telah berikan, yang seharusnya aku syukuri..
Hem, hanya aku yang terlihat lelah disana.
Dengan kantung hitam dibawah mata.
Dengan rambut acak-acakan.
Dengan dunia kecil yang tak berarti.
Aku kembali berkaca,
Melihat diriku diseberang sana.
Dengan muka masam.
Dengan raut wajah cemberut.
Dengan imajinasi yang kini membusuk.
Cih, apa yang bisa kulakukan sekarang?
Menangis?
Tertawa?
Berlari?
Duduk dan menunggu?
Hei, aku lelah.
Aku kembali berkaca,
Memperhatikan setiap detail garis yang ada diraut masam wajahku.
Lalu, apalagi sekarang?
Membusuk bersama imajinasi fantasi?
Atau memakan mimpi yang kini kadaluarsa, lalu mati dengan mulut berbusa keracunan?
Haruskah?
Hah?
Aku kembali berkaca,
Menerawang jauh manic hitam mataku disana.
Aku tau aku lelah,
Aku tau aku mulai menyerah,
Aku tau aku kini merasa telah kalah.
Sudahlah, jangan bicarakan masalah ini.
Aku kembali berkaca, memperhatikan lagi dengan seksama.
Raut wajahku, manik hitam mataku, garis-garis lembut dikeningku.
Semuanya kuperhatikan lagi.
Hei, ada yang hilang disana.
Satu keeping kecil, yang terlempar.
Sesuatu hal yang membuatku merasa kehilangan.
Tapi aku tak tau apa itu.
Bagian mana yang menghilang?
Aku tak tau…
Aku kembali berkaca,
Sekali lagi menelusuri garis-garis halus dikening.
Kembali berkaca, kembali membaca.
Membaca, bagian mana yang bisa kusebut dengan kenyataan?
Bagian mana yang bisa disimpan dalam cerita yang terekam?
Bagian mana yang memberiku kebebasan?
Bagian mana yang membuatku merasa hidup?
Bagian mana yang menghilang dan harus kucari.
Hem, kembali berkaca dan belajar membaca.
Membaca apa yang ada dalam diriku.
Membaca apa yang Tuhan telah berikan, yang seharusnya aku syukuri..
Toples Kaca
Kita hanya ada didalam toples kaca disudut meja belajar.
Saling berhadapan, tapi sama-sama tak berani bertatap mata.
Saling merasa sunyi, tapi tak segerajuga menyapa.
Hanya membuang nafas, dan berfikir sia-sia.
Tanpa ada kata.
Tanpa ada cerita.
Tanpa ada kalimat pembuka.
Dalam toples kaca yang mulai dingin,
Hanya ada aku.
Hanya ada kamu.
Hanya ada bisu.
Hanya ada kel.
Hanya ada waktu yang terasa membeku.
Ayolah, ajak aku bercerita.
Ajak aku sedikit merangkai kata-kata.
Ajak aku bicara.
Meskipun hanya satu kata saja, taka pa.
Aku bisa melanjutkannya.
Aku hanya perlu satu kata dari mulutmu.
Ayolah, cairkan bisu diantara aku dan kamu.
Sekadar memanggil nama.
Namaku, tak perlu yang lain.
Hanya sekadar memanggil nama, titik.
Itu sudah cukup.
Aku hanya tak mau membeku dalam bisu, apalagi kita berhadapan sekarang.
Ayolah,
mulai ucap satu kata saja. Dan ajak aku bercerita.
Ayolah,
ajak aku menari dalam indahnya cerita.
Sungguh, aku tak suka bisu dan waktu yang membeku ketikaberhadapan dengan gores-gores sketsa wajahmu.
Saling berhadapan, tapi sama-sama tak berani bertatap mata.
Saling merasa sunyi, tapi tak segerajuga menyapa.
Hanya membuang nafas, dan berfikir sia-sia.
Tanpa ada kata.
Tanpa ada cerita.
Tanpa ada kalimat pembuka.
Dalam toples kaca yang mulai dingin,
Hanya ada aku.
Hanya ada kamu.
Hanya ada bisu.
Hanya ada kel.
Hanya ada waktu yang terasa membeku.
Ayolah, ajak aku bercerita.
Ajak aku sedikit merangkai kata-kata.
Ajak aku bicara.
Meskipun hanya satu kata saja, taka pa.
Aku bisa melanjutkannya.
Aku hanya perlu satu kata dari mulutmu.
Ayolah, cairkan bisu diantara aku dan kamu.
Sekadar memanggil nama.
Namaku, tak perlu yang lain.
Hanya sekadar memanggil nama, titik.
Itu sudah cukup.
Aku hanya tak mau membeku dalam bisu, apalagi kita berhadapan sekarang.
Ayolah,
mulai ucap satu kata saja. Dan ajak aku bercerita.
Ayolah,
ajak aku menari dalam indahnya cerita.
Sungguh, aku tak suka bisu dan waktu yang membeku ketikaberhadapan dengan gores-gores sketsa wajahmu.
Jumat, 08 April 2011
"hai kak..."
aku histeris dalam lamunanku.
meloncat kegirangan.
apa kamu tau?
aku selalu memacu jantung 3kali lebih cepat saat kamu menyapaku.
dan baru saja, aku merasa melewati rasi bintang cassiopeia yang indah setelah kata itu meluncur dari mulutmu, menghujam tepat dijantungku.
aku hanya membalasnya dengan senyuman malu-malu,tanpa ada satupun kata yang keluar dan membalas sapamu.
setelahnya, perasaan datang secara monoton.
"kenapa hanya tersenyum, kenapa tidak membalas sapanya?" batinku
terlalu naif, gugup dan malu
biasa, alasan klise.
rasanya, saat kamu ucap "hai" kepadaku, mulutku gatal ingin membalasnya dengan "hai juga kak", atau kata-kata bernada le,but lainnya.
ah, aku mengkhayal.
mana mungkin aku berani menyapamu kembali.
kini, aku berjalan ke arah kelasku seperti pagi-pagi sebelumnya.
"hai,selamat pagi."
sapamu dengan kuluman senyum.
aku menahan nafas, memaksa jantung untuk memompa literan darah lebih cepat.
tubuhku bertindak gugup, kaku seketika.
suasana yang tadi gegap gempita, tiba-tiba sunyi senyap.
aku gugup bukan main.
saraf refleksku segera mengirim pesan ke otak, agar mulutku bergerak dan membalas sapamu.
yah, walau sepatah dua patah kata balasan saja.
tapi mulutku kaku, tetap bergeming, diam membisu.
kamu tetap tersenyum serta berlalu dariku.
"bodoh, kenapa kau tak menyapanya?" batinku, menimpali ketololanku.
senyap, segera menjadi gempita dihadapanku.
kupandangi kamu, yang melangkah pergi dari satu titik didepanku.
"hai, selamat pagi kak."
kataku setelah kamu berlalu, pergi.
meloncat kegirangan.
apa kamu tau?
aku selalu memacu jantung 3kali lebih cepat saat kamu menyapaku.
dan baru saja, aku merasa melewati rasi bintang cassiopeia yang indah setelah kata itu meluncur dari mulutmu, menghujam tepat dijantungku.
aku hanya membalasnya dengan senyuman malu-malu,tanpa ada satupun kata yang keluar dan membalas sapamu.
setelahnya, perasaan datang secara monoton.
"kenapa hanya tersenyum, kenapa tidak membalas sapanya?" batinku
terlalu naif, gugup dan malu
biasa, alasan klise.
rasanya, saat kamu ucap "hai" kepadaku, mulutku gatal ingin membalasnya dengan "hai juga kak", atau kata-kata bernada le,but lainnya.
ah, aku mengkhayal.
mana mungkin aku berani menyapamu kembali.
kini, aku berjalan ke arah kelasku seperti pagi-pagi sebelumnya.
"hai,selamat pagi."
sapamu dengan kuluman senyum.
aku menahan nafas, memaksa jantung untuk memompa literan darah lebih cepat.
tubuhku bertindak gugup, kaku seketika.
suasana yang tadi gegap gempita, tiba-tiba sunyi senyap.
aku gugup bukan main.
saraf refleksku segera mengirim pesan ke otak, agar mulutku bergerak dan membalas sapamu.
yah, walau sepatah dua patah kata balasan saja.
tapi mulutku kaku, tetap bergeming, diam membisu.
kamu tetap tersenyum serta berlalu dariku.
"bodoh, kenapa kau tak menyapanya?" batinku, menimpali ketololanku.
senyap, segera menjadi gempita dihadapanku.
kupandangi kamu, yang melangkah pergi dari satu titik didepanku.
"hai, selamat pagi kak."
kataku setelah kamu berlalu, pergi.
Langganan:
Postingan (Atom)